Oleh : Eka Putra B Santoso - Pengajar Politik IAIN Sultan Amai Gorontalo.
Perdebatan politik hari-hari ini makin panas. Tentu bukan hanya berkutat pada ruang eksistensi elit politik pada pagelaran 2024 nanti, lebih dari itu aturan main sistem pemilu menjadi adonan yang kini ditinjau lagi dalam kerangka legal formal di Mahkamah Konsitusi.
Energi dari pembedahan itu terfokus pada seberapa adil MK menafsirkan sistem pemilu kita yang kini bersifat proporsional terbuka.
Para penggugat dalam inti materinya menginginkan bahwa sistem pemilu kita harus kembali pada sistem proporsional tertutup. Sama seperti pemilu pasca kemerdekaan hingga 2006. Hal ini diingatkan juga oleh Ketua KPU RI beberapa pekan silam. Walaupun menjadi polemik, karena ketua KPU dianggap tidak punya kapasitas mengomentari sistem pemilu yang akan digunakan nanti. namun menurut saya beliau hanya mengingatkan kemungkinan-kemungkinan dari persiapan peserta pemilu.
Yang menarik, sistem pemilu yang kini masuk dalam batu uji di MK menyebabkan partai politik peserta pemilu bereaksi. Dilansir dari beberapa media mainstream, ada 8 parpol yang tetap mendukung sistem pemilu bersifat proporsional terbuka, diantaranya Golkar, Gerindra, PPP, Nasdem, PKS, PKB , PAN dan Demokrat. Sementara yang mendukung sistem Proporsional tertutup adalah “the ruling party” PDI Perjuangan dan PBB.
Namun dari hasil pembelahan yang cukup tajam ini, perlu untuk melihat seberapa penting dan urgenkah perubahan sistem pemilu dengan substansi dari demokrasi negeri ini. Apakah mungkin agenda dari dukung mendukung gugatan tentang sistem pemilu hanya bentuk representasi kepentingan sekelompok partai hingga mengenyampingkan hal yang lebih penting, yakni representasi politik warga negara. “ mari kita bahas”
Dalam wacana publik kita hari ini, sistem proporsional terbuka maupun tertutup memang memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, keduanya pernah diberlakukan di negara ini dalam kurun latar sejarah yang berbeda. Dari konteks tersebut pemberlakuan sistem pemilu tidak bisa dilepaskan dengan setting politik saat itu. Tak hanya itu sistem pemilu harus linier pula dengan sistem kepartaian dan asas desentralisasi pemerintahan.
Orde lama misalnya, dengan kultur politik yang sangat ideologis tentunya simetris dengan porsi sistem proporsional tertutup untuk memilih Konsituante dan DPR. Walaupun hanya bersandar pada UU 7 Tahun 1953 yang punya payung UUDS 1950, Pemilu 1955 dinyatakan oleh berbagai ahli adalah pemilu paling demokratik sepanjang republik ini berdiri. Namun sayang, ketika Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit 5 Juli 1958, formasi dari pemilu yang demokratis tersebut tercerai berai dengan DPR-GR yang dibuat dan dinamai sistem demokrasi terpimpin. Sejak dekrit itu dikeluarkan, pemilu tidak pernah lagi diselenggarakan hingga bung karno harus meletakkan jabatannya. Menurut Prof Ismail Sunny model demokrasi terpimpin tidak lagi mengacu pada democracy by law, namun bergeser pada Democracy by decree.
Pada orde baru, sistem proporsional tertutup masih konsisten diteruskan, dengan latar politik otoristik yang menyerupai demokrasi terpimpin, orde baru melaksanakan pemilu dengan penyederhanaan partai politik yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Massa utama Golkar tentu berasal dari birokrasi dan militer, yang menurut Teguh Prasetyo didukung penuh oleh para pejabat pemerintah. Oleh karena itu model yang digunakan cenderung membuat Golkar selalu mendulang suara terbanyak sepanjang sejarah pemilu orde baru. Sementara PDI dan PPP hanya menjadi parpol pinggiran yang sulit menembus perolehan suara Golkar.
Kecenderungan ini membuat Parpol dimasa orde baru sangat tersentralistik, sama halnya dengan efetivitas pemerintahan. Pemilu yang diharapkan menghasilkan distribusi kekuasaan hingga ke daerah hanya terpolarisasi pada pusat pemerintahan di Jakarta. Sehingga output dari sistem kepemiluan tidak melahirkan sirkulasi kekuasaan, namun sebaliknya memperkuat kekuatan politik dinasti.
Pada era refromasi, perbaikan sistem pemilu terus dilaksanakan, seperti hadirnya UU No 12 Tahun 2003 yang memperkenalkan sistem proporsional terbuka. Sistem ini mengubah polarisasi sentralistik sistem politik yang mengakar dari rezim orde lama sampai orde baru. Tidak hanya itu, melalui amandemen UUD penyelenggaraan pemilu dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bersifat independen.
Dalam gambagaran proporsional terbuka banyak pihak yang memimpikan bahwa demokratisasi akan berjalan dengan baik, bahkan istilah “ membeli kucing dalam karung” tidak akan terjadi karena distribusi elit dari pusat sampai daerah menampakkan gambar wajahnya dalam kertas suara. Hal ini menampakkan kedekatan yang cukup signifikan antara elit dan masyarakat. Efek psikologis untuk memilih caleg dan Presiden terasa diberbagai lapisan masyarakat.
Walaupun kita tau bersama sistem proporsional terbuka bukan tidak punya masalah, hasil evaluasi dari sistem ini melahirkan masalah-masalah yang sifatnya parsial. Misalnya ramainya politik uang untuk menggaet pemilih, profesionalitas penyelenggara pemilu hingga demokratisasi internal partai yang belum berjalan dengan baik.
Namun hal-hal tersebut selalu menghadirkan representasi dari pengawasan masyarakat dalam melihat dan belajar aturan main yang berlaku. Bahkan mekanisme hukum dalam hal penindakan telah disediakan untuk menghadirkan pemilu yang berintegritas.
Berbeda halnya ketika kita kembali pada sistem proporsional tertutup yang dalam perjalanan sejarahnya punya corak kekuatan poilitik yang sentralistik.
Selain itu, Demokratisasi dalam tubuh partai akan sulit sekali untuk dilacak penerapannya. Dugaan lobi-lobi yang tertutup dalam hal caleg yang pantas mendapatkan tiket juga mungkin akan terjadi. prosesi ini justru akan membuat representasi pengawasan warga negara akan menjadi timpang bahkan nihil.
Oleh karena itu penting untuk republik ini tidak selalu mundur kebelakang untuk mencari model yang ideal dalam hal sistem pemilu. Masih banyak hal yang urgen yang bisa direvisi untuk membuat pemilu lebih baik, misalnya penerapan presidential threshold yang membuat tingkat keadilan kita terasa hampa. (*)