Go-Pena Baner
IKLAN
IKLAN

Sunday, 08 June, 2025

Antara Konservatisme Moral dan Idealisme Humanis: Membaca Penolakan LGBT di Gorontalo

Responsive image
Fanridhal Engo (Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Oleh
Fanridhal Engo
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Gelombang penolakan kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) di Provinsi Gorontalo makin besar. Hal ini berakar dari emosi publik akibat konten media sosial para kaum ‘pelangi’ itu yang semakin kontroversial. Misalnya yang baru saja viral; laki-laki me-ma-kai jilbab di ruang publik. Hal tersebut kemudian menimbulkan reaksi berupa “Tolak Waria dan LGBT”, “Selamatkan Gorontalo sebagai Serambi Madinah dari Kelompok LGBT”, dan lain-lain. Intinya mengutuk perilaku LGBT.
Tak tanggung-tanggung, Bupati Gorontalo, Sofyan Puhi lantas merespon hal ini dengan mengatakan, “...Jangan viralkan mereka. Jangan sampai kita membantu mereka dengan memviralkannya,” ujar Sofyan usai melakukan peletakan batu pertama pembangunan jamban hasil koin stunting di Desa Luwoo, Kecamatan Telaga, Jum’at, 25/04/2025, dikutip dari Beleidnews.
Respon lainnya datang dari tokoh akademisi Universitas Negeri Gorontalo (UNG) sekaligus pegiat keberagaman; Dr. Samsi Pomalingo. Dalam tulisannya yang berjudul ‘“Tuhan-tuhan Kecil” Yang Suka Menghukumi’ diterbitkan oleh Bakukabar.id pada Sabtu, 27/04/2025. Tulisan tersebut mengomentari sikap masyarakat yang cenderung menghukumi perilaku waria dan LGBT. Samsi Pomalingo menjelaskan bahwa perilaku LGBT memerlukan sebuah pembinaan dari masyarakat dengan tanpa menghukumi.
“Menghukumi suatu kelompok bukanlah solusi yang konstruktif. Sebaliknya, pendekatan yang lebih baik adalah dengan membina dan memberikan dukungan. Masyarakat seharusnya berupaya untuk menciptakan ruang yang aman bagi individu transgender, di mana mereka dapat mengekspresikan diri tanpa takut akan penilaian atau pengucilan. Ini tidak hanya bermanfaat bagi transgender itu sendiri, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Jika ditanyakan kepada mereka, apakah mereka (transgender) meminta untuk diciptakan sebagai waria?, maka jawabannya tidak,” tulis akademisi yang akrab disapa Romo Samsi itu.
Sebagai orang awam sekaligus pendatang baru dalam dunia menulis, saya menilai tulisan Romo Samsi yang menyerukan “pembinaan tanpa hukuman” bagi komunitas transgender di Gorontalo tampaknya lahir dari idealisme humanis, tapi gagal berakar pada realitas sosial yang ada. Survei Pew Research Center (2019) menunjukkan hanya 9% masyarakat Indonesia yang menerima homoseksualitas, sementara di Gorontalo gelombang penolakan terhadap LGBT jauh lebih kuat, argumen masyarakat banyak didasari konservatisme adat dan agama Islam yang melekat erat di ‘tubuh’ masyarakat Gorontalo. Jadi, melabeli upaya penegakan norma sebagai “menghukum” tanpa memahami kekhawatiran mayoritas hanya akan melejitkan resistensi, bukan menumbuhkan dialog.
Lebih jauh, data terbaru dari Pew Research (2023) memperlihatkan 92 % orang Indonesia menolak legalisasi pernikahan sejenis, dengan 88% di antaranya sangat menentang. Ini bukan sekadar angka: ia mencerminkan nilai-nilai yang dipegang teguh masyarakat muslim di berbagai daerah, termasuk Gorontalo. Maka mengabaikan kerangka moral mayoritas dan menyerukan pendekatan “tanpa hukuman” akan berisiko memicu konflik baru yang lebih dalam.
Sementara dalam ranah agama, Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan Fatwa No. 57 Tahun 2014 tentang Lesbian, Gay, Sodomi, dan Pencabulan, yang menegaskan bahwa perilaku LGBT bertentangan dengan syariat dan memerlukan penanganan sesuai mekanisme taʾzīr—bukan dialog tanpa batas. Fatwa MUI ini disandarkan pada jibunan ayat Al-Qur’an yang menyerukan manusia untuk menjaga kemaluan serta menyalurkan hasrat seksual kepada lawan jenis dan larangan berhubungan sesama jenis.
Lebih lanjut Sang Romo menulis “Nabi Muahammad SAW tidak datang untuk menghukumi, tetapi untuk memberikan petunjuk dan mengajak umatnya untuk untuk mentauhidkan Tuhan Yang Maha Esa....” Mengklaim Nabi Muhammad SAW tidak bertujuan “menghukum” tanpa mengakui adanya mekanisme koreksi dalam Islam (hudūd dan taʾzīr) berarti telah menafikan dimensi keadilan agama yang berfungsi menjaga tatanan moral umat. Kehadiran Nabi Muhammad SAW sebagai pembimbing moral merupakan fakta yang tidak dapat dibantah, beliau sekaligus role model bagi setiap muslim, dari sini muncul pertanyaan apakah perilaku LBGT—khususya di Gorontalo—mencerminkan akhlak yang baik? Silakan dijawab sendiri.
Dalam sebuah riwayat, Ibnu Abbas pernah berkata: Rasulullah SAW melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki. Dalam riwayat lain dari Ummu Salamah ia berkata: Ada seorang mukhannats (laki-laki menyerupai perempuan) masuk ke rumah Ummu Salamah. Nabi SAW mendengar dia berbicara kepada Abdullah bin Abi Umayyah tentang wanita (dengan detail tubuhnya). Maka Nabi SAW bersabda: "Jangan biarkan orang-orang seperti ini masuk kepada kalian." Jika seorang nabi saja bersikap begitu keras terhadap kaum waria sebagaimana hadis yang telah disebutkan, bagaimana dengan kita ummatnya? Bagaimana dengan kita masyarakat Gorontalo yang melabeli daerah sebagai ‘Serambi Madinah’?
Kita cukupkan perspektif agama, mari bertamasya ke kitab tebal bernama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana alias KUHP; Pasal 292 KUHP melarang perbuatan cabul sesama jenis, dengan ancaman pidana hingga lima tahun penjara. Berangkat dari lagal-formal ini, Romo Samsi yang menyuarakan “tanpa hukuman” mengabaikan kerangka legal ini, seakan memberi lampu hijau bagi perilaku yang oleh negara telah dianggap merusak kesusilaan. Bagi saya kritik atas penegakan norma tanpa memperhatikan isi undang-undang berpotensi memperkeruh ketidakpastian hukum.
Sementara prinsip amar maʾrūf nahi munkar—“mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran”—bukanlah slogan kosong, itu melainkan kewajiban kolektif yang dituntut para ulama sebagai fardu kifayah bahkan ‘ain dalam kondisi tertentu. Obyeksi Sang Romo yang memisahkan “pembinaan” dari “penegakan” mencederai semangat ini, karena dakwah dalam Islam tak bisa diletakkan terpisah dari penawaran solusi dan teguran atas kemungkaran.
Penulis juga luput menangkap kompleksitas opini publik. Menurut SMRC, 57,7 % orang Indonesia mengakui hak LGBT untuk hidup sebagai warga negara, dan 45 % akan menerima jika anggota keluarga mereka terbuka sebagai LGBT. Angka ini menandakan ada ruang dialog—namun bukan dialog tanpa landasan moral dan hukum. Mengabaikan kerangka norma untuk “pembinaan tanpa syarat” justru mereduksi makna hak dan kewajiban dalam konteks sosial-budaya kita.
Argumen humanis penulis, yang menempatkan martabat individu transgender setara mutlak dengan penerimaan perilaku “menyimpang,” berkontradiksi dengan sebagian besar masyarakat yang masih melihat homoseksualitas sebagai pelanggaran nilai agama dan adat. Dengan 88% menolak keras pernikahan sejenis, paksaan retoris penerimaan absolut malah semakin memicu gerakan penolakan balik.
Selain itu, upaya mengalihkan fokus ke isu-isu lain—seperti lingkungan atau korupsi—tanpa mengurai hubungan sistemik hanya menjadi sebuah trik retorika. Kita semua sepakat, setiap persoalan (ekologi, kemiskinan, moralitas) memang harus diperjuangkan, tapi mencampuradukkan agenda dakwah dengan isu-isu lain tanpa kerangka prioritas yang jelas hanya memperkeruh wacana dan melemahkan efektivitas intervensi sosial.
Usulan agar ustadz “mendatangi” komunitas transgender tanpa pedoman syariat pun terlalu naif. Fatwa MUI menekankan jalur rehabilitasi moral dan pengobatan (taʾzīr), bukan dialog bebas tanpa standar. Tanpa kerangka metodis—misalnya program terapi psikososial yang sesuai syariah—interaksi “inklusif” justru bisa dipersepsi sebagai bentuk legitimasi perilaku yang oleh mayoritas dianggap melanggar norma. Lagipula MUI Provinsi Gorontalo baru-baru ini telah mengaksentuasikan bahwa perilaku LGBT merupakan penyimpangan yang serius.
Singkatnya, gagasan “pembinaan tanpa hukuman” Dr. Samsi Pomalingo, adalah niat luhur, meski begitu saya menilai hal tersebut terjebak pada idealisme yang melupakan realitas sosial, hukum positif, dan prinsip keagamaan. Realitas dilapangan, waria dan LGBT di Gorontalo rata-rata berprofesi sebagai seniman; penyanyi kondang. Tidak sedikit mereka menampilkan busana layaknya wanita yang berpakaian setengah telanjang dan tarian erotis, publik khawatir ini berdampak buruk bagi mental penonton yang juga disaksikan remaja dan anak-anak. Sebagai upaya untuk menumbuhkan harmoni, pendekatan dakwah harus seimbang: kasih sayang dipadu dengan kejelasan norma dan prosedur legal-religius. Tanpa itu, kita bukan membangun jembatan, melainkan menambah jurang perpecahan.(*) 


Share