Go-Pena Baner
IKLAN
IKLAN

Monday, 09 June, 2025

Efek Domino Pemotongan Anggaran

Responsive image
Muh. Amier Arham

 

Oleh : Muh. Amier Arham

(Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNG)

 

Bagi elite politik bahasa bukan sekedar alat komunikasi untuk menyampaikan pesan, tetapi bahasa juga dapat digunakan untuk komunikasi politik agar dapat menciptakan tema-tema wacana tertentu yang bertujuan untuk menutupi suatu realita. Oleh karena itu kekuasaan seringkali menempatkan bahasa untuk mengukuhkan kekuasaan atau melegitimisi kebijakan yang menghasilkan buah rasa pahit, tapi berusaha disajikan semanis mungkin lewat eufemisme bahasa, seperti bahasa menaikkan menjadi penyesuaian, bahasa mengurangi subsidi menjadi harga keekonomian dan paling anyar sekarang adalah pemotongan anggaran menjadi efisiensi anggaran. Eufemisme (penghalusan) dilakukan agar kebijakan yang pahit seolah manis adanya. Efisiensi anggaran pada kadar tertentu memang “manis” karena ada program yang hendak diprioritaskan memberikan efek bagi peningkatan kesejahteraan publik. Apalagi memang selama ini diindikasikan penggunaan anggaran ditubuh organisasi pemerintah tidak sedikit yang bocor atau kurang efisien, misalnya program pengentasan kemiskinan banyak kegiatan di dalamnya rapat kordinasi, FGD, kunjungan lapangan, sementara anggaran untuk pengentasan kemiskinan sendiri tersisa sedikit.

Pada tingkat kementerian dan lembaga praktek semacam ini bersaling rupa, mereka mendesain acara di suatu daerah atau kegiatan FGD, peningkatan kapasitas dsb tetapi tujuan utamanya untuk menghadiri hajatan pimpinan atau kolega di daerah tersebut. Anggota legislatifpun tidak jauh berbeda, kegiatan studi banding (studi tiru) terutama dalam penyusunan Ranperda sudah menjadi kelaziman. Kegiatan Pemda di luar daerah, seperti FGD, pembekalan atau peningkatan capacity building dengan peserta puluhan orang, disertakan pula staf dan panitia. Kegiatan semacam ini tentu banyak menguras anggaran, padahal sejatinya setiap satu rupiah pengeluaran (belanja) pemerintah memberikan multiplier effect economy, seperti mengurangi kemiskinan, membuka lapangan kerja baru, mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada konteks ini saya setuju untuk dilakukan pemotongan anggaran (maaf saya tidak pakai bahasa efisiensi), karena kemanfaatannya bukan kepentingan orang banyak, dan cenderung terjadi penyedotan anggaran ke luar daerah.

Pemotongan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah merupakan bagian dari kebijakan fiskal, lazim dijalankan oleh pemerintah dinegara manapun. Pemotongan anggaran yang dilakukan saat ini tentu memiliki urgensi untuk menciptakan stabilisasi ekonomi, menjaga kesehatan fiskal akibat melebarnya defisit anggaran, disaat yang sama Presiden Prabowo bertekad kuat merealisasikan program prioritasnya. Selama ini untuk menutupi lubang defisit anggaran pilihan pemerintah terbatas, hanya lewat penarikan utang baru, sementara tahun 2025 pembiayaan utang dalam APBN yang akan jatuh tempo sebesar Rp. 800 triliun. Bisa saja belanja tidak diutak-atik dengan harapan penerimaan dapat distel agar meningkat, terutama lewat peningkatan pajak. Akan tetapi penerimaan pajak nampaknya pemerintah cukup keteteran, selain tertundanya kenaikan PPN 12 % secara luas juga karena dampak dari perubahan sistem perpajakan ke Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau yang juga disebut dengan Coretax. Implementasi Coretax yang sedianya berjalan efektif 31 Desember 2024 sampai saat ini masih menghadapi kendala, belum berjalan lancar, misalnya bendahara umum belum dapat menyetorkan potongan pajak dari pembayaran hak-hak ASN (PPh). Basis pajakpun memang dasarnya masih terbatas, kendati tidak dipungkiri setiap tahun wajib pajak terus bertambah, akan tetapi belum sesuai potensinya, penerimaan dari hasil SDA juga belum optimal bahkan sampai saat ini upaya pemerintah “memaksa” korporasi menambah besaran bagian pemerintah tidak nampak, padahal pendapatan korporasi pengolah SDA tidak sedikit.

Persoalan utama pemotongan anggaran pada hampir semua K/L di tahun 2025 juga buah dari belanja pemerintah selama 10 tahun tidak terkontrol, cenderung ugal-ugalan tanpa mempertimbangkan kemampuan fiskal, maupun urgensi pembangunan infrastruktur “mercusuar” yang kurang memberikan dampak penetasan ke bawah dan ke samping. Bahkan kehadiran infrastruktur tersebut menjadi beban fiskal karena pembiayaannya menggunakan pinjaman lewat surat berharga. Maka pemotongan anggaran hari ini bukan pilihan tetapi keniscayaan  yang harus ditempuh oleh pemerintah.

Pada saat yang sama pemerintah juga perlu mengoptimalkan belanja untuk kepentingan janji politik, karena itu pemotongan anggaran menjadi jalan satu-satunya. Hanya saja pemotongan anggaran bukan tanpa resiko jika dilakukan tidak cermat dan selektif, karena hal itu akan menimbulkan efek domino yang berdampak terhadap ekonomi nasional, menurunkan daya beli masyarakat, menghambat penciptaan lapangan kerja baru. Tidak itu saja dapat menimbulkan gejolak sosial politik, atau pemerintah akan gagal memutus mata rantai kemiskinan dan ketimpangan akses pendidikan tinggi jika termasuk bantuan sosial (Bansos) bidang kesehatan dan pendidikan ikut disasar. Melihat paparan Menteri Kemendiktisaintek pada saat rapat dengar pendapat dengan komisi bidang pendidikan tertera ada usulan dari Direktorat Jenedral Anggaran (DJA) dilakukan pemotongan Bantuan Opersaional Perguruan PTN 50 %, Bantuan KIPK 9 % maupun bantuan beasiswa bagi masyarakat di kawasan 3 T dan bantuan beasiswa dosen. Jika itu dilakukan pemerintah, maka ia menjadi trade off ditengah upaya meningkatkan akses pendidikan tinggi, menghadapi bonus demografi dan Indonesia Emas yang bertumpu pada peningkatan kapasitas SDM.

Pemotongan anggaran dapat dimaklumi namun kritik publik juga tetap perlu dihidupkan, karena nyatanya memang setelah ada kritik sikap pemerintah yang diwakili oleh Menkeu berubah bahwa untuk Bansos bidang pendidikan seperti KIPK, Beasiswa ADIK dan beasiswa dosen untuk peningkatan kapasitas SDM dosen tidak kena pemotongan. Namun anggaran ke Kemendiktisaintek untuk Biaya Operasioan Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) tetap disasar sebesar 50 %, dimana BOPTN diperuntukkan untuk kegiatan tri darma perguruan tinggi (pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat). Adanya pemotongan BOPTN sudah barang tentu menghambat kegiatan riset untuk memproduksi pengetahuan baru bagi mahasiswa yang memang sudah menjadi mandatory dari perguruan tinggi. Selain BOPTN dipangkas, juga terkena imbas pemotongan pendapatan non pajak perguruan tinggi negeri, praktis kesejahteraan para dosen dan pegawai dihapus. Kondisi ini sudah barang tentu akan menurunkan motivasi kerja (jangan bilang demi pengabdian, siapa suruh jadi dosen) karena selama ini mereka dengan tekun, sabar menjalani profesi yang memang passion mereka untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pemotongan anggaran untuk transfer ke daerah ini juga memberikan dampak yang sangat luar biasa, terutama daerah di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Dana transfer merupakan penyumbang utama komponen Pembentukan Modal untuk mengerakkan output (pertumbuhan ekonomi). Belum lagi ada kewajiban cicilan PEN yang cukup besar, DAK fisik hilang, maka praktis kepala daerah yang baru terpilih dengan segudang janji hanya bisa terus memberi janji, sembari meminta masyarakat bersabar. Anggaran untuk pembangunan infastruktur tak luput ditebas hingga mencapai 80 triliun, resikonya para kontraktor lokal yang menggangtungkan hidupnya dari proyek pemerintah akan mengistirahatkan alat-alatnya. Pekerja harian (tukang) di sektor konstruksi kehilangan pekerjaan, sebagian dari mereka ini anak-anaknya mendapatkan makanan bergizi gratis di sekolah pada pagi hari, setelah pulang ke rumah bisa jadi makan seadanya.

Pada sektor-sektor lain, kegiatan MICE di hotel akan sangat terpukul dengan adanya pemotongan anggaran, tingkat okupasi hotel di daerah non tujuan kegiatan pariwisata diisi oleh kegiatan pemerintah. Mereka akan kehilangan pesanan, suplai kebutuhan di sektor perhotelan terhenti, padahal disuplai oleh pelaku UMKM dan petani secara langsung, seperti beras, sayuran, ikan, bumbu, daging, tempe dsb. Dampak ikutannya, sektor transportasi akan kena imbas, apalagi pemerintah merencanakan akan menambah pemotongan anggaran hingga 750 triliun untuk program MBG dan menyuntik Danantara.

Pemotongan anggaran tahun 2025 menunjukkan lemahnya perencanaan pemerintah, karena planer APBN pada dasarnya sebagian besar adalah orang yang sama, rezim yang berkelanjutan. Dan karenanya sebagian program prioritas sejatinya perlu diformulasikan kembali agar lebih tepat sasaran, serta mempertimbangkan pelaku yang dilibatkan dalam mengimplementasikan program, terutama dari mereka pelaku UMKM, seperti program MBG pengelola kantin sekolah tidak mendapatkan imbas, mereka akan kehilangan pendapatan. Jika problemnya adalah gizi buruk, stunting maka idealnya program itu difokuskan bagi mereka yang masuk kelompok prevalensi, dan keluarga yang mampu dan sehat biarkan menjadi tanggung jawab orang tuanya. Jadi kebijakannya bukan one for all pada akhirnya anggaran membengkak yang seharusnya dapat dialokasikan untuk pendidikan dan kesehatan sebagai layanan dasar. Keduanya merupakan sektor yang perlu diprioritaskan, bukan ditempatkan sebagai program pendukung karena sektor tersebut adalah sektor mandatory spending. Kebijakan dengan prinsip one for all akan selalu menyisakan side effect untuk jangka panjang, karena itu pemotongan anggaran sedapat mungkin dilakukan dengan cermat dan tidak menggunakan kacamat kuda, apalagi disertai dengan pernyataan “kekerasan verbal”, seperti bagi yang mengkritik kebijakan adalah orang yang punya otak tapi tak punya hati, justru mereka menggunakan kedua anugerah tersebut dalam melihat dan merasakan realitas. (*)


Share