Go-pena.id-Secara Bahasa tumbilo tohe berarti menyalakan lampu. Secara aplikatif tumbilo tohe adalah tradisi suku Muslim Gorontalo menyalakan lampu pada 27, 28, 29 Ramadhan. Lampu yang dinyalakan bukan yang menggunakan listrik melainkan lampu yang menggunakan minyak (tradisional).
Secara historis, menyalakan lampu pada akhir Ramadhan bertujuan memberi penerangan bagi pejalan kaki menuju masjid, sebab pada akhir Ramadhan, cahaya rembulan mulai redup sehingga jalan menuju masjid gelap. Dengan menyalakan lampu (tumbilotohe) didepan-depan rumah, jalanan, maka dapat memberikan penerangan bagi masyarakat yang hendak melaksanakan ibadah dimalam hari, terlebih bagi yang ingin ke masjid.
Tumbilo tohe sebagai keniscayaan budaya, terikat oleh ruang dan waktu. Karena itu selain bercorak religi juga bersifat sakral. Sebab tradisi ini hanya dilaksanakan pada bulan puasa saja. Boleh saja tohe (lampu) pada tradisi ini digantikan dengan tohe listrik, tapi momen dan nuansa esoterik tumbilo tohe tidak dapat digantikan.
Mengapa Tumbilo Tohe Dilakukan Pada Malam Terakhir Ramadhan ?
Di sinilah letak makna sprititualnya. Bahwaa sumbu yang dinyalakan bukan sumbu dalamm perngertian leksikal dan denotatif, tetapi pengertian metafora. Sumbu adalah jiwa yang terdapat dalam hati. Berarti spiritualitas tumbilo tohe berarti menyalakan dan menghidupkan dan menyambut malam lailatul qadr. Sedangkan kemuliaan lailatul qadr hanya boleh dirasakan oleh jiwa-jiwa yang bersih dan hidup.
Tohe Berasal Dari Bahasa Arab
Secara spiritual terma tohe (dalam bahasa Gorontalo) berasal dari kata Thaha dalam bahasa Arab. Thaha adalah salah satu nama Nabi Muhammad. Muhammad itu bercahaya, itu berarti tumbilo tohe adalah menghidupkan cahaya kenabian.
Dengan demikian, tumbilo tohe adalah ekspresi jiwa keihsanan dalam mewujudkan nilai spiritual, nilai yang bersesuaian dengan nilai keagamaan. Tegasnya tradisi tumbilo tohe adalah media kultural untuk menghidupkan jiwa yang tercerahkan, jiwa yang tercerahkan itu adalah jiwa yang terbuka (inklusif). Demikian terbukanya jiwa yang tercerahkan sehingga mampu menyalakan semangat untuk tidak menyulitkan orang lain. Bahkan rela menjadi “jembatan” bagi kebaikan.
Sumber: Sofyan A.P. Kau,"Tafsir Islam atas Adat Gorontalo"